Catatan kunjungan kerja ke India
JAKARTA, PORTALBERAU- Sebagai
negara berpenduduk 1,3 miliar dan menempati urutan kedua setelah China
sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia, India menghadapi
persoalan kemiskinan yang cukup serius.
Asian Development Bank mencatat jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di negara ini mencapai
21,9 persen dari total jumlah penduduk. Sementara proporsi masyarakat
bekerja yang berada dalam kelompok daya beli di bawah $1.90 per hari
mencapai 17,9%.
Untuk mengatasi persoalan kemiskinan
ini, Pemerintah India sadar betul bahwa cara tercepat untuk menjangkau
dan mengentaskan warga dari kemiskinan adalah memafaaatkan teknologi
informasi.
Selama lima tahun terakhir, Pemerintah
India telah sukses menerapkan identitas unik bernama Aadhaar yang
menjadi identitas tunggal bagi warga India sekaligus basis data dalam
distribusi bansos.
Setiap orang harus memiliki Aadhaar
yang didalamnya telah dilengkapi dengan data demografi seperti usia,
jenis kelamin, alamat, serta rekam sidik jari dengan tambahan informasi
nomor telepon genggam dan alamat email sebagai pilihan.
Di Indonesia, Aadhaar adalah semacam
Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terdiri dari 12 angka yang diperoleh
secara acak pada saat seseorang mendaftarkan dirinya, bersifat unik dan
berlaku seumur hidup.
Dengan memanfaatkan Aadhaar dalam
digitalisasi Program Bantuan Sosial, India telah menyalurkan beraneka
ragam jenis bantuan sosial di antaranya subsidi LPG, bantuan hari tua
(pensiun), beasiawa, bantuan sosial untuk janda, subsidi makanan, dll.
Pada pertengahan Oktober 2017, melalui
undangan dari Bill and Melinda Gates Foundation, sejumlah delegasi dari
Kenterian Sosial dan Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) melakukan
kunjungan kerja ke India.
Dalam kegiatan yang diorganisir oleh
Microsave Indonesia ini, delegasi diajak untuk melihat secara langsung
bagaimana India memanfaatkan biometrik data kependudukan dalam
penyaluran bantuan sosial secara digital agar tepat sasaran, tepat
jumlah, tepat waktu, efektif dan efisien.
Kunjungan yang dipimpin oleh Staf
Khusus Menteri Sosial Bidang Kerja Sama Luar Negeri, Sus Eko Ernanda
ini melibatkan 24 anggota delegasi yang mempelajari strategi pemerintah
India dalam menyalurkan bantuan sosial melalui jaringan agen bank maupun
non-bank/telko, manajemen jaringan agen. Dalam kunjungan ini, mereka
juga mendalami bagaimana keberlangsungan model bisnis agen untuk
distribusi bantuan sosial (bansos).
"India memiliki banyak kesamaan dengan
Indonesia. Seperti kesamaan budaya dan demografis, demikian pula
kesamaan tujuan dalam penanganan kemiskinan. Kunjungan ini adalah untuk
mempelajari upaya pemerintah India dalam hal kebijakan dan aturan,
tantangan, dan koordinasi bersama para stakeholders hingga manajemen
jaringan agen untuk mempercepat penyaluran bansos dari pemerintah
langsung kepada penerima manfaat," paparnya usai pembukaan kegiatan di
New Delhi.
Direct Benefit Transfer (DBT)
Program Penyaluran Bansos Langsung
Kepada Penerima Bansos atau Direct Benefit Transfer ini merupakan upaya
reformasi yang diluncurkan pemerintah India pada 1 Januari 2013. Program
ini bertujuan untuk mentransfer bansos langsung ke rekening penerima
manfaat dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
DBT dimaksudkan untuk memudahkan
transfer bansos secara elektronik, memangkas waktu dan biaya yang
dikeluarkan untuk penyaluran bansos, serta menghindari duplikasi data
yang jamak dialami negara-negara penyalur bansos, tak terkecuali
Indonesia.
Senior Program Officer Bill and
Melinda Gates Foundation di India, Dr. Pawan Bakhshi mengungkapkan ada
tiga kunci dalam penerapan penyaluran bantuan sosial di India.
Pertama, nomor indentitas unik yang
terhubung dengan Aadhaar dan rekening bank individu yang dapat diakses
dengan Adhaar. Identitas unik ini memungkinkan penerima bansos
menempelkan sidik jarinya pada mesin biometrik dan secara otomatis akan
mengubungkannya dengan akun bank yang dimiliki berikut jenis-jenis
bansos yang diterima.
Kedua, diperlukan basis data penerima
manfaat by name by address, yaitu data yang terus diperbarui, dan tidak
ada data yang dobel.
Ketiga, dukungan teknologi interoperabilitas dan infrastruktur perbankan yang telah menjangkau 650 ribu desa di India.
Melalui teknologi interoperabilitas
yang dimiliki perbankan dan konektivitas setiap saat, memungkinan
penerima bansos mengambil uangnya di bank manapun yang mereka inginkan.
Mereka juga dapat membuka rekening di bank pilihan mereka (tidak
ditentukan pemerintah).
Proses menabung sangat mudah dengan
teknologi biometrik dan tanpa kartu atau buku tabungan. Semua catatan
transaksi dan subsidi masuk ke dalam telepon genggam penerima bansos.
"Selain ketiga hal itu, juga
diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk mengubah
potret kemiskinan di India," tutur peraih gelar Ph.D. dari Fakultas
Manajemen, Dr. B.R. Universitas Ambedkar, Agra ini.
Dalam waktu kurang dari 3 tahun sejak
pelaksanaannya, sistem DBT telah menghasilkan penghematan sebesar 7,74
miliar dolar AS untuk pemerintah. DBT telah mencapai kemajuan pesat
dimana hingga Maret 2017 jumlah penyaluran mencapai 28 milyar dolar AS
untuk 357 juta penerima bantuan.
Saat ini, lanjutnya, telah terdapat
287 juta akun di bank, 642 miliar rupee dalam bentuk deposit di bank,
1,15 miliar data aadhaar, 1,12 miliar telepon genggam, dan 300 juta
telepon pintar.
Dampak positif DBT, sebanyak 99 persen
rumah tangga di India telah memiliki rekening bank, dengan inklusi
keuangan sebesar 65 persen. Sebanyak 42 persen orang dewasa memiliki
rekening bank aktif. Sebelumnya data global index India pada 2014
mencatat inklusi keuangan sekitar 53 persen.
"Artinya dalam waktu tiga tahun
pemerintah India telah meningkatkan target inklusi keuangan sebesar 12
persen. Jadi memang yang menjadi target adalah inklusi keuangan secara
nasional. Salah satunya melalui bansos dengan mewajibkan pembukaan
rekening bank," tutup Pawan. (kemsos.go.id)
0 comments :
Post a Comment