JAKARTA, PORTALBERAU- Mahkamah
Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan uji materiil Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU
Kependudukan), Selasa (7/11). Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 dibacakan oleh
Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi hakim konstitusi lainnya.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya. Menyatakan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal
64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’,”
ucapArief dalam sidang putusan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Sejumlah penghayat kepercayaan mendalilkan
Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga
negara di hadapan hukum. Dalam permohonannya, Nggay Mehang Tana, dkk.,
mendalilkan bahwa KK dan KTP elektronik memuat elemen keterangan agama di
dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan
sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
Terhadap permohonan tersebut, dalam
Pertimbangan Hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah
menilai keberadaan Pasal 61 dan Pasal 64 UU Administrasi Kependudukan bertujuan
untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dengan terbangunnya database
kependudukan secara nasional serta keabsahan dan kebenaran atas dokumen
kependudukan yang diterbitkan.
Upaya melakukan tertib administrasi kependudukan
sebagaimana dimaksud pada pasal a quo sama sekali tidak boleh
mengurangi hak-hak warga negara dimaksud termasuk hak atas kebebasan beragama
dan berkeyakinan.
Saldi menambahkan adanya pernyataan dalam
Pasal 61 ayat (2) dan dalam Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan yang
menyatakan bahwa bagi penghayat kepercayaan kolom “agama” tidak diisi, meski
tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan, bukanlah
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan jaminan negara bagi warga negara
penganut kepercayaan.
Hal tersebut semata-mata penegasan tentang kewajiban
negara untuk memberikan pelayanan kepada setiap warga negara sesuai dengan data
yang tercantum dalam database kependudukan yang memang merupakan tugas
dan kewajiban negara.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa kata atau istilah ‘agama’ dalam Pasal
61 ayat (1) jika dihubungkan dengan Pasal 61 ayat (2) dan kata atau istilah
‘agama’ dalam Pasal 64 ayat (1) jika dihubungkan dengan Pasal 64 ayat (5) UU
Administrasi Kependudukan bertentangan dengan prinsip atau gagasan negara
hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sepanjang tidak
dimaknai termasuk ‘kepercayaan’, adalah beralasan menurut hukum,” jelas Saldi.
Terjadi Pelanggaran Hak
Selain itu, lanjut Saldi, secara faktual
keberadaan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5)
UU Administrasi Kependudukan pada faktanya telah menimbulkan ketidakpastian,
penafsiran yang berbeda, dan tidak konsisten dengan norma lainnya dalam
undang-undang yang sama seperti dengan Pasal 58 ayat (2).
Hal ini berakibat
warga negara penghayat kepercayaan kesulitan memperoleh KK maupun KTP-el.
Dengan dikosongkannya elemen data kependudukan tentang agama juga telah berdampak
pada pemenuhan hak-hak lainnya, seperti perkawinan dan layanan kependudukan.
Sehingga, penganut kepercayaan tidak mendapatkan jaminan kepastian dan
persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diperoleh warga negara
lainnya. Pada saat yang sama, hal demikian merupakan sebuah kerugian hak
konstitusional warga negara yang seharusnya tidak boleh terjadi.
“Berdasarkan uraian di atas, dalil para
Pemohon yang menyatakan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi
Kependudukan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD
1945 sepanjang kata “agama” dalam pasal a quo tidak dimaknai termasuk
kepercayaan adalah beralasan menurut hukum,” ucap Saldi.
Untuk menjamin hak konstitusional para
Pemohon, Mahkamah menegaskan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU
Administrasi Kependudukan kehilangan relevansinya dan juga turut tunduk pada
argumentasi perihal pertentangan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal
64 ayat (4) UU Administrasi Kependudukan sebelumnya sehingga dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.
“Dengan demikian dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas
Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan beralasan menurut hukum,” tegas Saldi.
Saldi pun menambahkan pencantuman elemen data
kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan, hanya dengan mencatatkan
yang bersangkutan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpa merinci kepercayaan
yang dianut di dalam KK maupun KTP-el.
Hal tersebut dilakukan agar tertib
administrasi kependudukan dapat terwujud serta mengingat jumlah penghayat
kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, maka begitu
juga dengan penganut agama lain. (mahkamahkonstitusi.go.id)
0 comments :
Post a Comment