JAKARTA,
PORTALBERAU- Mereka yang dianggap
menghina diancam pidana, semua warga negara wajib datang jika dipanggil,
pemeriksaan anggota dewan harus dengan persetujuan presiden -- para anggota DPR
RI dianggap sedang memperkuat posisi diri mereka sendiri.
Upaya tersebut dilakukan lewat revisi
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD atau sering disebut UU
MD3.
"Revisi itu membuat DPR terkesan sebagai
lembaga superpower," kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur kepada Liputan6.com,
Rabu (14/2/2018).
Salah satu yang jadi sorotan
adalah ancaman pidana terhadap mereka yang dianggap menghina dewan. Aturan
itu tertuang dalam Pasal 122 huruf k yang berbunyi, "MKD bertugas
mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota
DPR."
Banyak yang melayangkan keberatan. Pasal itu
dianggap membungkam kritik rakyat -- yang sejatinya memilih para anggota dewan.
Bahkan, tak sedikit yang menganggap, aturan itu berpotensi jadi pasal
karet.
UU MD3 terlanjur sah oleh tiga ketukan
palu Ketua DPR Bambang Soesatyo, Senin 12 Februari 2018. Meski demikian,
masih ada celah untuk menganulirnya.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi
(Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengatakan,
pihaknya akan segera mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi
(MK).
"Pasti (gugat ke MK) kalau memang itu
yang diinginkan DPR, pasti masyarakat sipil akan menggugat," ucap Zainal,
kepada Liputan6.com,
Rabu (14/2/2018) malam.
Menurut dia, hak imunitas anggota DPR
bertentangan dengan konstitusi, terutama pada Pasal 122 huruf k
yang mengarah ke dugaan bahwa DPR antikritik.
Padahal menurutnya, masyarakat boleh
mengajukan kritik kepada DPR sebagaimana kritik kepada pemerintah.
Zainal mengatakan, ada banyak pihak yang akan
terlibat dalam rencana ini seperti aktivis, akademisi, serta beberapa NGO
sehingga diperlukan diskusi lebih lanjut. Namun demikian, dia mengatakan
pihaknya tidak akan tergesa-gesa membawa UU itu ke MK. Alasannya,
dia masih ragu dengan kredibilitas MK.
Zainal menganggap, MK selama ini terbukti
terlibat dalam kepentingan politik sehingga proses pengujian terhadap
konstitusi tidak berjalan secara objektif.
"Keadaan MK tidak terlalu preferable karena
kejadian di MK selama ini tidak menunjukkan proses hukum, tapi proses
politik," ungkap Zainal.
Apalagi, saat ini belum ada nomor yang
tercantum pada undang-undang tersebut. UU MD3 yang disahkan DPR belum bisa
digugat.
Apa Kriteria Merendahkan DPR?
Saat dihubungi Liputan6.com,
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menyatakan, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan terkait dengan disahkannya UU MD3. DPR menurut dia hanya berupaya
membuat prosedur berjalan secara tertib.
"Sama halnya kalau sampeyan merasa
dicemarkan nama baiknya, nunjuk lawyer kan? Gitu saja.
Apakah nanti lawyer-nya hanya sekadar melapor atau melakukan
pendampingan, dan seterusnya itu terserah pihaknya," kata Supratman saat
dihubungi Rabu (14/2/2018) malam.
Menurut Supratman, pidana terhadap pengkritik
tak dilakukan perorangan anggota dewan, tapi lewat Majelis Kehormatan Dewan (MKD),
yang mengambil langkah hukum mewakili lembaga DPR maupun anggota DPR apabila
terjadi sebuah pencemaran nama baik.
Itu pun, kata dia, akan diuji dulu apakah
memang memenuhi unsur penghinaan atau tidak.
"Hanya bertindak mewakili lembaga untuk
melaporkan. Kan aturan pidananya sudah ada," jelas dia.
Supratman tak setuju bahwa aturan tersebut
adalah upaya DPR untuk membungkam kritik. Apalagi jika disebut pasal
karet.
"Pasal 122 huruf k ada nggak ancaman
pidananya? Jadi apanya yang ditakutkan," kata dia.
Menurut politikus Partai Gerindra itu, soal
pencemaran nama baik sudah diatur di KUHP pidana. Unsur dan aturan di KUHP
menurutnya sudah sangat jelas.
"Cuma kalau terjadi seperti unsur yang
diatur dengan KUHP, berarti nanti yang akan melaporkan karena itu kan delik ya
aduan," kata dia.
Lantas, apa kriteria seseorang atau lembaga
dianggap menghina DPR?
Sebelumnya, politikus Gerindra tersebut
mengungkapkan, DPR memang harus dikritik supaya lebih baik. Namun kritikan
tersebut tak boleh memberikan stigma berlebihan, yang tidak sesuai dengan
harkat dan etika norma orang timur.
Seperti halnya, diamenambahkan, menyamakan
seseorang dengan hewan atau yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada.
"Itu yang tidak boleh, bagaimana
penjabaran lebih lanjut itu nanti akan diatur dalam tata tertib kita yang akan
dibahas dalam Baleg dalam waktu dekat," papar dia.
Secara terpisah, Wakil Ketua Baleg, Firman
Soebagyo mengatakan, yang dimaksud penghinaan misalnya, jika ada seorang
anggota melakukan kejahatan, namun stigma koruptor dilekatkan pada DPR RI
sebagai lembaga.
"Katakanlah ada satu yang berbuat
kejahatan, jangan lembaganya dicap koruptor," kata dia.
Kids Zaman Now Terancam Jadi Korban?
Sejumlah
pihak dianggap rentan terhadap pasal penghinaan DPR. Salah satunya adalah para
jurnalis.
"Kalau
(pemberitaan) dianggap merendahkan (anggota DPR), maka potensi yang pertama
kena adalah teman-teman jurnalis," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI
Muhammad Isnur.
Menurutnya,
selama ini para jurnalis sering kali memulai berita yang berisi kritikan
terhadap anggota dewan. Jika kritik tersebut dianggap sebagai penghinaan kepada
DPR, MKD bisa melaporkan jurnalis itu kepada pihak Kepolisian.
"Dengan
pasal seperti ini (Pasal 122 huruf k) ada anggota dewan yang merasa direndahkan
namanya direndahkan martabatnya dengan tulisan jurnalis, dia (anggota DPR) bisa
meminta MKD untuk menindaklanjuti. Bisa gugatan perdata, pidana, bisa
somasi," jelas Isnur.
Isnur
menilai UUD MD3 merupakan upaya DPR untuk menghindari kritik tajam dari
masyarakat.
"(Pasal
122 huruf k) Ini akan memakan banyak korban apalagi di tengah-tengah pengguna
sosial yang sangat banyak," ucapnya.
Sementara,
Komisaris Perkumpulan Warga Muda, Wildanshah menilai keberadaan UU MD3
membonsai daya kritis anak muda atau kids zaman now dalam berdemokrasi
dan berpolitik.
Menurut dia,
seharusnya DPR semakin terbuka dan mampu melihat tren anak muda yang mulai
marak terlibat dan berani menyikapi isu politik dengan kreativitasnya.
"Ini
menunjukan demokrasi Indonesia sudah naik level, kenapa kritik malah dibonsai,
zaman telah berubah, otoritarian sudah ketinggalan zaman," ucap
Wildanshah.
Wildanshah
menambahkan, seharusnya para anggota DPR RI sadar saat melihat perubahan
perilaku politik anak muda generasi milenial saat ini.
Menurut dia,
tipe generasi muda saat ini cenderung menyampaikan aspirasi dengan cara yang
menyenangkan.
"Karena
generasi ini bisa membuat politik tidak berjarak dengan masyarakat. Kreativitas
anak muda membuat parody, meme, komik, lagu, lelucon ternyata benar-benar dapat
menggerakan kesadaran politik bangsa Indonesia," ujar dia.
Wildanshah
juga mengingatkan, jika UU MD3 tidak digugat, maka DPR berhasil membawa masa
lalu politik Indonesia yang kelam ke masa depan momentum bonus demografi.
"Butuh
waktu 32 tahun bangsa Indonesia melepaskan diri dari orde baru. Mana mungkin
anak muda rela demokrasi kembali dicengkram oligarki dan tirani. Anak muda
butuh masa depan, bukan masa lalu," tegas Wildanshah. (Liputan6.com)
0 comments :
Post a Comment