JAKARTA, PORTALBERAU- Terorisme
masih menjadi bahaya laten bagi Indonesia. Deteksi dini diperkuat, untuk
meningkatkan kewaspadaan. Pun program deradikalisasi terus intensif
dilakukan dengan berbagai pendekatan. Khusus untuk eks napi terorisme,
tugas pemerintah membinanya, agar mereka kembali ke jalan yang benar dan
dapat membaur kembali dengan masyarakat.
Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan itu saat diwawancarai para
wartawan usai menghadiri acara penandatanganan Memorandum of
Understanding antara Kementerian Dalam Negeri dengan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Jakarta, Senin (12/3/2018).
Menurut
Tjahjo, deteksi dini menjadi faktor utama dalam mendeteksi setiap
gelagat di tengah masyarakat. Termasuk juga gelagat yang mengarah pada
ancaman terorisme. Kewaspadaan menjadi kunci. Disamping, pendekatan lain
yang lebih menyentuh pada kemanusiaan. Misalnya kepada mereka yang
telah menjalani hukuman, pendekatannya tentu lain. Lebih soft, tanpa
mengurangi kewaspadaan.
"Kita
waspada boleh, tapi tidak harus mencurigai bagi kelompok-kelompok tadi
yang sudah dibina oleh BNPT. Sehingga akses berkomunikasi berbaur dengan
masyarakat itu harus diberikan ruang, tapi harus dipantau diikuti, "
katanya.
Menurut Tjahjo, itu menjadi
bagian dari sebuah proses pembinaan dalam konteks penanggulangan
radikalisme. Sebab, mereka yang telah menjalani hukuman, atau mereka
yang baru pulang dari Suriah, misalnya, tetap masih warga negara
Indonesia. Jadi tidak mungkin diusir. Maka, tugas BNPT bersama dengan
jajaran pemerintah, baik pusat mau pub daerah, membinanya. Dan
memantaunya.
"Kita berikan satu
pembinaan. Saya kira ini program yang cukup besar, komperhensif tapi
kuncinya harus ada kerjasama. Dan Pak Suhardi Alius (Kepala BNPT) sudah
berkomunikasi dengan semua pihak. Dengan tentara, kepolisian, BIN,
kejaksaan, Kemendagri, sektor swasta dan luar negeri," ujarnya.
Apalagi
tahun ini, lanjut Tjahjo, adalah tahun politik, yang memerlukan
kewaspadaan dari semua pihak. Termasuk waspada terhadap ancaman
terorisme yang bisa saja akan mengganggu stabilitas saat pesta demokrasi
digelar.
"Tahun ini kita menghadapi
proses konsolidasi demokrasi mulai Pilkada sampai Pileg dan Pilpres ada
event Asian Games juga. Ini juga bagian yang menjadi tugas tanggung
jawab BNPT dan Kemendagri, menjaga stabilitas," katanya.
Terkait
hak dokumen kependudukan bagi eks napi terorisme, menurut Tjahjo, tidak
dibedakan. Mereka, tetap warga Indonesia yang punya hak yang sama
dengan warga negara lainnya. Tentu, kalau sudah dibina, ada monitoring.
Data tentang mereka tentu akan terus di-update.
"Saya
kira apapun mereka kalau sudah dibina, sudah ada sinyal, saya kira
sebagai warga negara dia berhak punya data karena KTP kan juga nyawa
warga negara kita. Dengan dia punya KTP kan dia punya BPJS, kartu sehat,
kartu pintar dan sebagainya. Saya kira itu akan terus kita update tapi
datanya ada di kita. Dia namanya siapa, tinggal dimana, pekerjaannya apa
, semua lengkap datanya. Sehingga ditingkat RT RW sampe Kapolsek,
Koramil juga ikut memantau dengan baik," tutur Tjahjo.
Terkait
ini, Kepala BNPT, Komjen Suhardi Alius menambahkan, para eks napi
terorisme kesulitan mengakses data kependudukan, karena kesalahan dari
BNPT yang memang harus hati-hati. Sehingga, data tentang mereka tidak
dishare. Akibatnya, pemerintah daerah pun bersikap hati-hati juga. Tapi
dengan kerjasama dengan Kemendagri, masing-masing pihak bisa
memonitoring.
"Pemda tidak tahu
siapa dia. Itu mungkin kehati-hatian pemda. Oleh sebab itu data sudah
ya. Mudah-mudahan bisa kita monitoring," katanya.
Saat
ini, lanjut Suhardi, tercatat ada 600 lebih eks napi terorisme. Mereka
sudah keluar dari penjara. Ini yang terus dimonitor bersama instansi
lain, termasuk Kemendagri. Tidak terkecuali mereka yang baru pulang dari
Suriah. Itu pun diawasi.
"Itu
termasuk yang kita monitoring (yang pulang dari Suriah). Itu ratusan
juga. Ratusan itu kan macem-macem. Ada yang orang dewasanya, perempuan,
anak-anak juga," katanya.
Bentuk
monitoringnya seperti apa, Suhardi mencontoh kerjasama akses data
kependudukan dengan Kemendagri. Dengan kerjasama ini, pihaknya bisa tahu
data tentang mereka yang pernah terlibat dalam terorisme. Misal, alamat
dan data lainnya.
"Itu kerjasama
dengan Kemendagri dimana mereka tinggal. Karena prosesnya adalah mereka
ketika sampai di Indonesia kita langsung datakan. Kita taruh lokalisasi
sebulan setelah itu dijemput oleh Kemendagri dimasing-masing wilayah
dimana dia. Sehingga betul-betul daerah berperan serta dimana mereka
tinggal, dengan siapa mereka bergaul, dan sebagainya. Kita monitoring
karena kita perlu melakukan atensi khusus buat yang seperti itu karena
takutnya ideologi radikal masih ada," urai Suhardi. (kemendagri.go.id)
0 comments :
Post a Comment