![]() |
Foto : Hamas.co |
JAKARTA, PORTALBERAU-
Ditetapkannya 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumatera Utara sebagai
tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah jadi sorotan publik.
Bahkan ramai diberitakan. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menjadi salah
satu narasumber yang diburu para wartawan untuk dimintai tanggapannya.
Seperti saat Menteri Tjahjo selesai menghadiri
rapat terbatas soal KTP el di Istana Negara. Begitu keluar, orang nomor satu di
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu langsung dirubung para
wartawan. Banyak yang kemudian menanyakan kasus 38 anggota dan mantan anggota
DPRD Sumut yang jadi tersangka.
Tjahjo sendiri menjawab, bahwa kasus yang
sekarang melilit puluhan anggota dan mantan legislator Sumut, sebenarnya kasus
lama. Proses penyidikannya sudah dilakukan cukup lama. Kasus ini, hasil dari
pengembangan kasus Gubernur Sumut.
"Ya pandangan saya sebagai bagian daripada
Kemendagri, karena apapun DPRD merupakan satu kesatuan dengan Pemda, kami
merasa sedih dan merasa prihatin. Disatu sisi ini juga harus menjadi perhatian
dan kesadaran seluruh teman-teman anggota DPRD, baik provinsi maupun tingkat
kabupaten dan kota, " katanya, di Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Tjahjo berharap, kasus 38 anggota dewan Sumut itu
jadi pelajaran berharga bagi semuanya. Terutama menjadi bahan evaluasi bagi
yang terlibat dalam perencanaan anggaran. Jangan lagi, ada main-main dan
kongkalingkong. Semua bekerja harus sesuai aturan. Dan paham area rawan
korupsi. Sebab salah satu area rawan korupsi itu, menyangkut perencanaan
anggaran.
"Saya kira sudah pada tempatnya untuk tidak
dibargaining dengan 'kongkalingkong'. Apalagi yang berkaitan dengan anggaran
daerah. Kasus Sumut walaupun itu pemberian dari seorang Gubernur pasti itu
menggunakan anggaran APBD. Karena apapun perencanaan anggaran, dana hibah
bansos, retribusi pajak, mekanisme jual beli barang dan jasa itu adalah area
rawan korupsi yang harus diperhatikan," tutur Tjahjo.
Meski begitu, kata dia, karena 38 anggota dan
mantan anggota DPRD Sumut itu masih berstatus tersangka, asas praduga tidak
bersalah harus dikedepankan, sampai ada keputusan hukum yang bersifat tetap
dari pengadilan. Dan, bagi anggota DPRD yang sudah jadi tersangka, tapi masih
bisa aktif, misalnya untuk menghadiri sidang di DPRD, Tjahjo mempersilakan
aktif seperti biasanya. Sebab, jika tak ada yang aktif, tugas parlemen di
daerah bisa terganggu.
"Ada usulan bahwa secepatnya anggota DPRD
yang tersangka KPK yang sudah mencukupi dua alat bukti yang kuat, harus mundur
supaya tidak mengganggu jalannya proses di dewan, satu sisi saya sebagai
Mendagri ya enggak mungkin karena apapun tetap menggunakan asas praduga tidak
bersalah. Nanti untuk menarik adalah parpol karna kewenangan menarik sebelum
mempunyai kekuatan hukum tetap atau meninggal dunia atau berhalangan tetap
harus ada pada parpol," urai Tjahjo.
Maka, jika kemudian partai akan melakukan
pergantian antar waktu (PAW) maka, kata dia, sah-sah saja. Tapi sebagai
Mendagri, ia tidak bisa mengambil sikap menyarankan, karena memang belum
ada putusan hukum tetap dari pengadilan. Kecuali bersangkutan mundur
sendiri atau yang bersangkutan sudah mendapat putusan dari pengadilan.
"Saya kira ini pengalaman di Malang, Sumut
dan banyak kepala daerah kita termasuk SKPD harus jadi pelajaran. Saya
selalu mudah-mudahan ini yang terakhir. Tapi yang terakhir terus. Berarti kan
tidak mau mengerti dan memahami area rawan korupsi. Saya minta bukan hanya pada
semua kepala daerah dan jajarannya sampai kepala desa atau DPRD termasuk buat
saya sendiri dan teman-teman di Kemendagri dan BNPP juga harus hati-hati
terhadap area rawan korupsi," kata Tjahjo panjang lebar.
Sekarang lanjut Tjahjo, Kemendagri dan KPK telah
keliling melakukan supervisi. Dan ini sudah berjalan misal di Sumut.
Nanti dilanjutkan ke daerah lain.
"Besok saya akan hadir di Lampung dengan
Ketua KPK mengingatkan kembali bahwa e-planning juga harus diterapkan.
Mengingatkan kembali harus mengikuti aturan yang berkaitan dengan perencanaan
anggaran dan penggunaan anggaran, yang terkait dengan pengadaan barang
dan jasa. Mekanisme tender, mekanisme penunjukan apapun harus sesuai aturan UU
yang ada," ujarnya.
Anggota dewan itu kata Tjahjo, punya hak dan
fungsi pengawasan. Anggota dewan bisa melakukan interplasi dan juga mempunyai
hak budge dan hak angket. Tapi jangan sampai menggunakan hak-hak itu sebagai
alat gertakan untuk melakukan bargaining yang kemudian berujung pada konsesi
atau imbalan. Jika seperti itu, jelas salah.
"Mengajukan hak angket tetapi diberi imbalan
lalu batal, ini kan juga mencederai lembaga dewannya. Gunakan hak- hak
itu sesuai aturan. Soal ada anggota dewan yang memang tidak menerima itu
mungkin kepekaan anggota dewan. Harusnya punya kepekaan, ini enggak mau
nerima. Toh sudah kita tingkatkan anggaran dan pendapatan anggota dewan lewat
PP yang ada. Kalau melihat ke atas enggak akan mungkin cukup kan harusnya lihat
ya kebawah masih ada warga masyarakat yang berpenghasilan kurang dan
sebagainya," kata Tjahjo. (kemendagri.go.id)
0 comments :
Post a Comment