JAKARTA, PORTALBERAU- Surat Badan Pengawas Obat dan Makanan
atau BPOM yang ditujukan kepada PT Pharos Indonesia tertanggal 3 Januari
2018 belakangan ini tersebar secara viral melalui berbagai media sosial
dan grup percakapan
Surat tersebut berisi rekomendasi hasil rapat kajian aspek
keamanan pasca pemasaran policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat
luar konsentrat 36 persen. Policresulen diketahui terdapat dalam salah
satu obat keluaran Pharos yakni Albothyl.
Dalam surat dengan nomor: B-PW.03.02.354.3.01.18.0021 itu terlihat logo BPOM
terletak di bagian atas. Di bagian bawah surat terlihat ditandatangani oleh
Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, Dra.
Nurma Hidayati M. Epid.
Surat tersebut di antaranya menjelaskan hasil rapat BPOM
soal kajian aspek keamanan pasca pemasaran policresulen dalam
bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36 persen pada 25 Juli 2017 silam.
Dari kajian itu sedikitnya didapatkan empat poin hasil.
Poin pertama adalah tidak ditemukan bukti ilmiah atau studi yang mendukung
indikasi policresulen cairan obat luar 36 persen yang telah
disetujui. Poin kedua, policresulen cairan obat luar 36 persen tidak
lagi direkomendasikan penggunaannya untuk indikasi pada bedah, dermatologi,
otolaringologi, stamatologi dan odontology.
Poin ketiga adalah policresulen cairan obat luar 36 persen
merupakan obat bebas terbatas yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter.
Penggunaan obat ini sangat berisiko dan berbahaya jika digunakan tanpa
pengenceran terlebih dulu. Sedangkan poin keempat, terdapat laporan
chemical burn pada mucosa oral akibat
penggunaan policresulen obat luar konsentrat 36 persen oleh konsumen.
Dengan memperhatikan empat poin pertimbangan tersebut, maka rapat pengkajian
aspek keamanan memberi dua rekomendasi. Rekomendasi pertama adalah
risiko policresulen cairan obat luar 36 persen itu lebih besar
daripada manfaat.
"Sehingga policresulen dalam bentuk sediaan cairan
obat luar konsentrat 36 persen itu tidak boleh beredar lagi untuk indikasi pada
bedah, dermatologi, otolaringologi, stomatologi (stomatitis aftosa) dan
odontologi," seperti dikutip dari surat BPOM tersebut.
Rekomendasi kedua adalah dilakukan reevaluasi indikasi policresulen
dalam bentuk sediaan ovula dan gel pada saat proses renewal.
Sebab, indikasi policresulen pada informasi
produk policresulen bentuk sediaan ovula dan gel sama
dengan yang tercantum pada policresulen dalam bentuk cairan obat luar
konsentrat 36 persen.
Surat rekomendasi itu ditembuskan kepada tiga pejabat. Ketiga pejabat itu
adalah Direktur Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT, Direktur
Standarisasi Produk Terapetik dan PKRT, serta Direktur Penilaian Obat
dan Produk Biologi BPOM.
Surat ini yang kemudian beredar luas di media sosial dan memicu kontroversi
kandungan policresulen yang ada dalam salah satu obat merek dagang
Albothyl produksi PT Pharos Indonesia. salah satunya yang
diposting di media sosial Twitter oleh akun bernama @cho_ro.
Dalam postingan tersebut, @cho_ro menuliskan bahwa perjuangan selama 4 tahun
yang dilakukan oleh para dokter gigi akhirnya bisa berhasil. “Akhirnya,
Albothyl resmi TIDAK DISARANKAN sebagai obat oral/sariawan oleh BPOM,” tulis
akun @cho_ro tersebut pada Rabu, 14 Februari 2018.
Hingga pada Kamis, 15 Februari 2018 pukul 12:35, cuitan tersebut telah
mendapat 9.310 retweet, 3.554 likes dan 221 komentar. Selain menulis cuitan
demikian, akun @cho_ro juga membagikan foto surat yang dikeluarkan oleh BPOM
tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, Tempo belum berhasil mendapat
tanggapan PT Pharos Indonesia terkait larangan BPOM
peredaran policresulen cairan obat luar 36 persen itu. Salah satu
operator telepon perusahaan, Ayu, menyatakan Direktur Komunikasi Korporat
Pharos Indonesia, Ida Nurtika, sedang tidak berada di
tempat.
Menanggapi surat rekomentasi BPOM itu, humas eksternal PT
Pharos Indonesia, Agus Hidayat menyatakan perusahaan masih
mengumpulkan data dulu. "Tunggu saja keterangan resmi," ujarnya. (Tempo.co)
0 comments :
Post a Comment