JAKARTA, PORTAL BERAU - Hanya sedikit pasangan kepala daerah dan wakilnya yang
bertahan sampai dua periode. Sebagian besar pecah kongsi. Bahkan, bulan madu
kepala daerah dan wakilnya, acapkali berakhir di tengah jalan. Di saat, masih
menjabat. Selanjutnya saling bersaing, menuju pemilihan kepala daerah
berikutnya. Dan, itu terkonfirmasi sekarang. Pecah kongsi antara kepala daerah
dan wakilnya, marak akhir-akhir ini. Bahkan, konflik sudah terjadi, sesaat
setelah dilantik.
Kasus terbaru, Wakil Bupati Morowali Utara,
Sulawesi Tengah, Mohamad Asrar Abdul Samad mengamuk di acara pelantikan pejabat
eselon di lingkungan Pemkab Morowali Utara, Kamis pekan kemarin. Asrar sempat
melakukan aksi koboi, menendang kursi dan meja, bahkan kemudian menendang mobil
dinas Bupati Morowali Utara, Aptripel Tumimomor.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo
pun angkat suara. Menurutnya, ketika terjadi konflik misalnya antara bupati dan
wakilnya, atau walikota dengan wakilnya, gubernur punya peran untuk
mendamaikan. Gubernur adalah wakil pemerintah pusat dalam konteks pengawasan
dan pembinaan. Tapi kata Tjahjo, konflik antara kepala daerah dan wakilnya
tidak akan terjadi jika keduanya siap menjadi pemimpin daerah. Pemimpin itu
harus menjadi contoh yang baik. Jika memang ada masalah, komunikasikan dengan
baik-baik. Bukan kemudian marah-marah, dimuka publik pula.
"Makanya, kami minta gubernur untuk
mengundang mereka. Baru kemudian laporan kepada kami (Kementerian Dalam
Negeri)" kata Tjahjo. Tjahjo menambahkan fenomena perseteruan antara
kepala daerah dan wakilnya, jadi tanda atau cermin, bahwa Pilkada belum
mampu menghasilkan semua pemimpin daerah yang punya kualitas leadership
negarawan. Kalau pun ada hanya beberapa orang saja. " Posisi wakil kepala
daerah dari unsur atau yang berlatar belakang politisi dalam sistem
pemerintahan daerah memang memiliki potensi konflik," kata Tjahjo.
Karena kata dia, acapkali, pecah kongsi lebih
cepat terjadi. Pemicunya, masing-masing saling intip, saling tikung, untuk
mendapat peluang maju di pemilihan berikutnya. Ini yang sering terjadi. Maka,
yang terjadi adalah di pemilihan berikutnya, kepala daerah dan wakilnya lebih
banyak bercerai. "Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, memamg
asal usulnya kabuoaten dan kota di Indonesia dulunya adanya adalah bekas
kerajaan, " kata dia.
Dalam budaya pemerintahan lokal Indonesia
khususnya dalam sistem kerajaan, lanjut Tjahjo, hanya ada satu pemimpin
utama atau hanya ada satu matahari. Sedikit banyak faktor sejarah dan budaya
pemerintahan ini kemudian mempengaruhi sistem pemerintahan daerah saat
ini. Mungkin kata Tjahjo, kedepan perlu kajian mendalam terhadap efektivitas
posisi kepala daerah dan wakilnya.
"Karena kejadian perseteruan kepala
daerah dan wakilnya terus berulang. Yang dirugikan adalah masyarakat,
karena pembangunan daerah menjadi terhambat," ujarnya. Tjahjo
menambahkan, dalam mempercepat konsolidasi demokrasi, perlu dibangun
sistem pemerintahan daerah yang kuat. Selain itu diperlukan sistem yang mampu
memaksa semua pihak, terutama yang terlibat dalam sistem pemerintahan
untuk mengeluarkan energi positifnya membangun daerah.
Kasus perseteruan kepala daerah dan wakilnya,
bukan hanya terjadi di tingkat kabupaten. Sebelumnya, di Kalimantan Utara,
Gubernur Irianto Lambrie berseteru dengan wakilnya, Udin Hianggio. Irianto dan
Udin sendiri merupakan pasangan gubernur dan wakil gubernur yang terpilih dalam
Pilkada serentak gelombang pertama pada 2015. Belum juga lama berkongsi,
keduanya sudah saling serang lewat surat. Perseteruan itu akhirnya meledak
dalam sebuah upacara di lingkungan Pemprov Kalimantan Utara. Saat itu, Wakil
Gubernur, Udin Hianggio 'mengamuk', menyudutkan sang gubernur. Keduanya sempat
dipanggil ke Kemendagri untuk diklarifikasi dan didamaikan. Ketika itu,
Mendagri Tjahjo Kumolo meminta keduanya berdamai. Perseteruan hanya akan
membuat jalannya roda pemerintahan dan pembangunan terhambat. Warga yang akan
dirugikan. Tjahjo juga meminta, wakil gubernur membantu gubernur. Bukan
kemudian jadi seteru.
Pecah kongsi kepala daerah dan wakilnya tidak
hanya terjadi di Kaltara. Beberapa waktu yang lalu publik sempat dihebohkan
dengan 'aksi koboi' Wakil Bupati Tolitoli, Abdul Rahman Hi Budding di acara
pelantikan pejabat di lingkungan Kabupaten Tolitoli yang dihadiri Bupati Saleh
Bantilan. Jum'at akhir pekan kemarin, Bupati Tolitoli dipanggil ke Jakarta
untuk diklarifikasi oleh Dirjen Otonomi Daerah, Sumarsono. Usai melakukan
klarifikasi, Sumarsono sendiri menegaskan, kementeriannya tidak akan main-main
terhadap pejabat yang melanggar aturan. Pasti akan ditindak dan diberi sanksi.
Dia juga mengingatkan, wakil kepala daerah tugasnya membantu kepala daerah,
bukan kemudian jadi matahari kembar.
"Terbitnya PP Nomor 12 tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan kita tak main-main lagi, di situ diatur
sanksi-sanksinya. Yang perlu saya ingatkan, wakil bupati itu tugasnya membantu
bupati dan porosnya sebenarnya ya bupati itu. Jadi jangan sampai terjadi
matahari kembar karena dia harus bisa menginduk kepada kepala daerah yaitu
bupatinya," kata Sumarsono.
Sebelumnya, Direktur Politik Dalam Negeri
Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar mengungkapkan, selain
di Kaltara dan Tolitoli, ada juga kasus serupa di Kabupaten Kuansing, Riau. Di
kabupaten tersebut, Bupati dan wakilnya, yakni Mursini dan H Halim,
terlibat perseteruan. Duet Mursini dan H Halim sendiri merupakan pasangan calon
yang terpilih pada Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015. Kata Bahtiar,
perseteruan bupati dan wakilnya dipicu oleh soal utang piutang saat Pilkada
kemarin.
Utang yang sekarang diributkan, merupakan
utang yang dipakai modal membiayai Bupati dan Wakil Bupati Kuansing saat
bertarung di Pilkada. Mirisnya lagi, utang itu berasal dari pinjaman pihak
ketiga. Kata Bahtiar, Wakil Bupati Kuansing terang-terangan kepada media
mengungkapkan, bahwa ketika Pilkada, ia dan pasangannya, mengandalkan modal
dari pinjaman pihak ketiga. Belasan milyar, mereka mengutang uang untuk
membiayai pencalonannya. Si Wakil Bupati, merasa hanya dia yang harus
menanggung utang itu. Menurut pengakuan Wakil Bupati Kuansing, tiap bulan
dirinya harus membayar bunga utang yang jumlahnya mencapai 100 juta per bulan.
Merasa Bupati Kuansing yang jadi pasangannya tak ikut andil membayar, sang
wakil memutuskan membongkar utang politik itu.
"Utang seperti yang sering menyandera
para pemenang Pilkada dan menjebak mereka pada utang budi politik. Ini yang
kemudian acapkali melahirkan kongkalingkong," kata Bahtiar.(TIM)
0 comments :
Post a Comment