-->

Sasi, Upaya Masyarakat Adat dalam Konservasi Laut

Posted by marta on 17 July 2018

JAKARTA, PORTALBERAU-  Sasi atau praktik pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat dengan penutupan pemanfaatan sumber daya dan wilayah untuk jangka waktu tertentu, masih banyak dikenal di Indonesia bagian Timur, khususnya di Maluku dan Papua.

Praktik ini masih efektif karena tingkat kepatuhan masyarakat lebih tinggi dibandingkan kepatuhan terhadap hukum positif atau aturan formal. Prosesi buka dan tutup sasi dilakukan dengan upacara adat, sementara denda atau sanksi terhadap pelaku pelanggaran ditentukan oleh para tokoh adat.

Manfaat sasi laut bagi alam dan masyarakat menjadi topik yang diangkat The Nature Conservancy (TNC) Indonesia pada acara International Marine Conservation Congress (IMCC) di Kuching, Sarawak, Malaysia yang berlangsung pada akhir Juni 2018 lalu. 

TNC menyampaikan hasil pembelajaran dari pendampingan praktik sasi di Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat yang dilakukan bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat sejak tahun  2012.

”Masyarakat di Kampung Folley sudah merasakan manfaat dari mengelola wilayah sasi seluas 297 hektar dengan baik. Mereka rutin melakukan pemantauan dan tidak mengambil teripang yang ukurannya di bawah 15 cm saat buka sasi. Selain tidak laku di pasaran karena terlalu kecil, pengambilan teripang lebih kecil dari 15 cm juga akan berdampak pada berkurangnya bibit karena teripang kecil ini belum sempat bertelur dan menghasilkan bibit teripang yang dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah teripang wilayah tersebut,” jelas Awaludinnoer, Conservation Science  Coordinator TNC Indonesia dalam presentasinya di IMCC yang mendapatkan sambutan hangat dari pelaku konservasi dunia.

Untuk menjamin keberlanjutan sasi, TNC bersama mitra melakukan pendampingan berupa monitoring secara berkala bersama dengan pemilik wilayah sasi, pemuda kampung, serta tokoh adat. 

Hal ini bertujuan untuk menentukan waktu buka sasi yang tepat serta ukuran biota sasi yang disepakati, yaitu teripang, yang boleh dipanen. Wilayah sasi di Kampung Folley berada di wilayah milik Marga Fadimpo dan Moom. Namun begitu, masyarakat di luar marga tersebut serta masyarakat di luar Kampung Folley juga diperbolehkan untuk mengambil hasil sasi. 

Mereka yang ikut panen sasi harus mematuhi aturan-aturan yang sudah disepakati yaitu: ukuran teripang yang boleh diambil  minimal 15 cm, penangkapan teripang harus menggunakan perahu (tidak boleh berjalan kaki) dan mengunakan alat yang ramah lingkungan (tombak/kalawai), larangan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti kompresor atau potassium, teripang bisa dijual dimana saja namun nota harus dikembalikan kepada panitia untuk pendataan, dan panitia akan mencatat setiap hasil tangkapan untuk memastikan ukuran sesuai yang disepakati.

Data yang dikumpulkan TNC sejak tahun 2013 hingga 2017 menunjukkan peningkatan baik jumlah biota maupun manfaat ekonomi sejak wilayah sasi dikelola dengan baik. Selama kurun 2014-2017, saat panen sasi rata-rata per kepala keluarga bisa mendapat tambahan penghasilan sebesar Rp 4.000.000,- dari hasil penjualan teripang. 

“Sejak didampingi oleh TNC, pengelolaan sasi di Kampung Folley menjadi lebih baik. Selain hasil panen meningkat, kami juga diajarkan cara monitoring dan pendataan hasil sasi,” ujar Yohanes Fadimpo, tokoh adat di Kampung Folley.

Di Indonesia setidaknya ditemukan sebanyak 29 jenis teripang yang diperdagangkan. Pemanfaatan yang berlebih dan permintaan pasar yang tinggi menyebabkan populasinya di alam terus menurun bahkan beberapa jenis teripang saat ini sudah sangat jarang ditemukan. 

Di awal masa penetapan sasi tahun 2013 di Kampung Folley dan masa pendampingan pada tahun 2014 hanya 6 spesies teripang yang ditemukan saat melakukan panen sasi. Namun demikian, setelah dilakukan pengelolaan sasi oleh masyarakat, pada tahun 2017 ditemukan 11 jenis teripang, merupakan yang terbanyak sejak buka sasi tahun 2013. 

Salah satu contoh teripang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah teripang gosok (Holoturian Scabra), yang di pasaran lokal harganya berkisar antara Rp 600.000 – Rp. 1.000.000/kg.

“Teripang merupakan salah satu komoditas ekspor pertama dari bumi Nusantara dan telah berlangsung selama lebih dari 300 tahun lalu hingga kini. Sayangnya, polusi dan eksploitasi berlebihan menyebabkan populasinya di alam menurun dengan sangat drastis. Oleh sebab itu, pemanfaatan teripang harus dikelola secara lebih bertanggung jawab. Jika tidak, sejarah pemanfaatan  komoditas ekspor tertua nusantara tersebut akan terhenti di generasi kita,” pungkas Muhammad Ilman, Direktur Program Kelautan TNC Indonesia. (Tim)


» Terimakasih telah membaca: Sasi, Upaya Masyarakat Adat dalam Konservasi Laut

Related Posts

Portal Berau Updated at: July 17, 2018

0 comments :

Post a Comment